Oknum-oknum penegak hukum.
June 23, 2020.
Hari ini ayahku bercerita tentang bagaimana seorang oknum hukum yang melakukan tindak korup. Kuping ku panas mendengar ini, aku yang hari itu sedang berkantup ngantuk tiba-tiba kembali segar setelah mendengar tindakan penyelewengan yang dilakukan oleh oknum hukum tersebut. Padahal beliau (ayahku) yang menyelamatkan, tetapi etikad baik tersebut di mainkan oleh oknum oknum keparat tersebut. Pantas, sebagian dari masyarakat membenci oknum-oknum hukum seperti itu, dulu ketika aku sedang berada di Puncak Pass lebih tepatnya pertigaan (kanan ke cipanas), aku pernah ditilang dan ditembak dengan harga Dua ratus lima puluh ribu rupiah, "gila" pikirku, tidak habis pikir dalam benakku, mereka menyudutkan kami. Aku benci hal ini, dalam hatiku ingin berteriak, "Biarlah ambil saja surat berharga itu, setidaknya biarkan motor ini turun kembali ke Jakarta, urusan bilamana ditilang kembali, itu akan menjadi urusan kami nanti". Memang salah tindakan yang saat itu aku fikirkan, tetapi setidaknya itu lebih jujur dari pada yang "mereka" lakukan saat itu.
Berbeda hal dengan saat itu, kejadian ini berlangsung di salah satu Tol lingkar dalam Jakarta, dimana ayahku yang bertugas menaungi salah satu kantor BUMN ternama. Singkat cerita ayahku yang bertugas menyelamatkan pengemudi ini, namun kehadiran Oknum-oknum tersebut membuat etikad baik ini, menjadi sebuah rencana bejat meresahkan. "Bila aku dengar ayahku sampai dipermasalahkan, aku sudi mengejarmu hingga neraka". Oknum-oknum seperti ini datang seperti superhero lalu bertindak bagaikan bandit yang memeras lawannya, tak tanggung-tanggung dari biaya administrasi yang harusnya dibayarkan sebanyak sebelas juta rupiah hanya terkatakan Enam juta rupiah. Saya pikir hidup seperti kalian sudah cukup sejahtera, untuk apa "kalian" meraup keuntungan dari masyarakat, lebih baik kalian sibuk memeras tikus-tikus berdasi yang katanya "Mewakilkan suara Rakyat, tapi hingga saat ini saya bingung rakyat bagian mana yang rela dimiskinkan untuk mengayomi pemerintah yang kaum Borjuis". Tugas kalian mengayomi masyarakat, sekarang oknum-oknum tersebut lebih terlihat mengelabuhi masyarakat, dengan cara sampah, kalian buat diri kalian sama saja memungut tulang belulang bagai tikus-tikus berdasi tersebut. "Kalian" buat seluruh jajaran hukum diseluruh negri ini terlihat seperti Immoral, tidak patut dicontoh sebagai penegak keadilan, semua cacian itu akan timbul karena termakan sifat bengis kalian.
Saya pikir saya menulis ini, juga bagian dari caci maki terhadap "kalian". Ke kesalan saya terhadap orang-orang yang meresahkan masyarakat. Yang merampok hak-hak masyarakat kelas menengah-kebawah seperti bandit yang saya katakan. Saya akan terus menulis, walaupun tulisan saya tidak baku dan tidak dapat diakui sebagai karya yang cukup masyur, setidaknya kalian yang membaca memiliki Ilmu yang cukup lebih, sadar, dan dapat berdiri lebih baik dari pada saya saat ini.
Berpuluh-puluh manusia sangatlah berkecukupan
sehingga sulit diatur
Delapan-sepuluh manusia sudah cukup
namun tidak cukup teratur
Satu-Tiga manusia lebih dari cukup teratur untuk diatur, untuk dilipat gandakan, menjadi manusia-manusia yang Taat pada Tuhan dan berani menyampaikan kebenaran.
Kita butuh massa itu, untuk memberikan pandangan kita dalam sebuah literatur
atau sesekali Narasi
yang dibangun untuk Marah!
Marah karena rakyat ditindas,
Marah karena rakyat tidak bebas,
hidup dalam bernegara
yang mengabdikan Democrazy!
lebih baik aku belajar Pancasila saja!
Ingin kubacakan puisi tersebut didepan perwira perwira, agar lebih selektif terhadap pasukannya dalam menjalankan perintah. Sayang seribu sayang, Mahasiswa dan masyarakat kelas menengah seperti saya selalu akan mendapatkan pertanyaan dalam benak saya. "Akankah didengar?" "Siapa yang ingin membacanya?" atau sesekali cacian dari mereka yang tidak peduli bahkan menodong saya sebagai orang-orang bodoh. Saya berfikir untuk apa intelektualitas tersebut bila hanya dipergunakan untuk menutupi sebuah kebenaran, atau dapat saya katakan saya lebih bersimpatik berkawan dengan orang yang lebih paham bermusik dari pada politik. Pertanyaan-pertanyaan dari pada itu telah memiliki jawaban didalam diri saya, bahwa "saya harus menulis" dan saya akan lebih tidak peduli lagi dengan cacian bahkan ketidakpedulian mereka dengan intuisi saya. Menarik rasanya menari ditengah-tengah hujan badai yang berkabung mengingat penindasan selalu terjadi dinegara merdeka seperti Indonesia. Tidak politisi-politisi, menteri-menteri, para perwira, bahkan para pemilik jabatan cukup besar pun dapat menyalahgunakan wewenangnya. Didalam tulisan ini saya dedikasikan kritik untuk para oknum-oknum penegak hukum, saya selipkan doa, semoga sekalian semua terganyang dalam jabatan kalian.
Comments
Post a Comment