Politisasi sebuah keyakinan
Sejak sore hari, disekitar pinggiran kota Jakarta Selatan lebih tepatnya, obrolan kita membahas tentang perilaku-perilaku sosial selama covid-19 termasuk organisasi ini. Mereka menolak bahwa sosialisasi sebatas berbagi, Aku setuju. Mereka berpendapat tentang organisasi-organisasi yang selalu menggantungkan harapan relawan pada rasa berbagi, tapi lebih dari itu mereka menginginkan aspek-aspek yang dapat mensejahterakan masyarakat dan masa depan sebagiannya, mungkin dengan acara-acara amal, kerjasama dengan pemerintah setempat. Kita memecah sebagian relawan, mengumpulkan kekuatan seperti akar yang menopong sebuah pohon yang baru mulai tumbuh diatas gunung. Aku rasa akan berhasil jika pengaruh organisasi itu sudah sebesar ini. Lagi-lagi aku setuju dengan pendapat ini, pemikiran mereka begitu visioner 10 langkah lebih maju kedepan dari pada aku, dan aku merasa malu melayu.
"Aku bersamamu orang-orang malang"
Begitu kutipan dari salah satu aktivis Revolusioner'60an. Soe Hok Gie.
Ada satu hal yang aku benci dari organisasi-organisasi sosial seperti ini. Bila tidak dijaga kemurniannya organisasi seperti ini bisa saja menjadi manifestasi para pemburu moralitas. Salah satunya para politisi yang mengejar dasi-dasi juga bangku-bangku pemerintahan, dengan bertambah tingginya sebuah pohon diatas gunung, maka akan semakin tinggi pula terjangan-terjangan angin yang menantangnya. Donatur-donatur tidak semestinya mengatur sebagaimana cita-cita itu di wujudkan. Bila melebur, konsep cita-cita itu akan sulit diwujudkan sebagaimana mestinya. Jangan sampai sebuah organisasi sosial seperti ini cenderung lebih menghargai pemberian atas dasar pembangunan struktural sebuah organisasi dan menyampingkan apa-apa yang harusnya menjadi berkah bagi mereka (yang membutuhkan). Aku tidak ingin ada nya donatur-donatur tersebut memastikan dirinya adalah investor yang berhasil membangun loyalitas atau mensejahterakan sebuah organisasi.
"Menurut ku yang membedakan Donatur dan Investor adalah Donatur membiayai tanpa sebuah keterikatan didalamnya."
"Jangan pula kau sombong (menyepelekan) hal-hal kecil seperti berbagi. Sesempurna apapun konsep tabiat baik mu itu rasa-rasanya akan terbakar dengan Hitamnya sifat kita."
Omong-omong soal sosial, aku juga teringat dengan obrolan salah satu pemuka agama, dengan sebagian minoritas relawan yang tadi ku dengar, mereka membahas virus yang tidak akan menular ditempat ibadah. Aneh, aku tidak tahu siapa yang sebenarnya bodoh atau memang acuh. Aku setuju bahwa semua kitab-kita dimuka bumi ini memiliki kepercayaan bagi suatu manusia yang mengimani nya. bahwa dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Namun kita semua harus menyepakati dahulu bahwa penyakit ini bukanlah sebuah penyakit biasa, adalah sebuah konspirasi dalam pembentukannya, dan menyebar begitu cepat keseluruh penjuru dunia, bahkan banyak korban-korban yang berjatuhan tidak dapat di antisipasi oleh beberapa negara setempat hingga mengakibatkan penumpukan mayat dimana-mana.
Tetapi begitu mereka berbincang soal moralitas selama pandemi ini, lugas percakapannya, jujur aku bosan mendengarkannya, karena menurut ku mereka terlalu banyak basa basi dengan menyombongkan apa-apa yang mereka telah perbuat. Sebenarnya mereka adalah bagian dari orang-orang baik yang dimiliki tabir semesta, entah aku sangat tidak respect pada saat malam tadi. Tidak lupa mereka selalu memperbincangkan PKI dan Cina, aku kembali menyusuri rongga politik yang aku ketahui selama belajar dan membaca, "apa hubungannya??" pikir benakku. Justru aku merasa kita sedang menuduh seseorang atas biang kerok terjadinya penyakit ini,
"Aku rasa mereka yang membicarakan tentang PKI dan meng rasial kan kaum Cina, tidak memahami betul tentang sejarah Revolusi Indonesia, sejarah ideologi pemikiran Marx. Namun mereka enteng berbicara dengan nada tinggi memfitnah sebuah rasial yang belum tentu kejelasannya, aku tidak suka."
Sekelarnya pembicaraan tiada penutupan yang lebih halus ku dengar selain "Sampai Jumpa!".
Padahal yang aku harapkan adalah salam penutup yang sangat adil namun berhukum sunnah dan wajib bagi yang menjawabnya untuk kaum muslimin, seperti halnya "Assalamualaikum". (Ibuku juga sudah mulai melupakannya).
"Lalu tabiat tabiat dalam agama mulai terlupakan, karena manusia sibuk menyangkut pautkan sesuatu hal yang berbau keyakinan dengan kepentingan. Yakni seperti Agama dan Politik".
Aku hanya meyakini ini,
dalam kehidupan, manusia hanya dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan perbuatan
"Baik dan Buruk".
"Islam mengajarkan tentang toleransi memeluk keyakinan, juga damai dan perbuatan perbuatan baik bukan tentang genderang perang yang selalu di elu elukan. Sekarang siapa yang perlu dipertanyakan, Islam atau orang itu?".
Comments
Post a Comment